Menikah dan Bahagia: Sebuah Perspektif

Pada konsepnya, menikah merupakan sebuah pengikatan yang dilakukan oleh dua insan manusia dengan maksud untuk meresmikan hubungan secara norma agama, hukum dan sosial. Sementara bahagia adalah keadaan pikiran atau perasaan yang ditandai oleh kecukupan hingga kesenangan dalam berbagai hal. Misalnya seperti kesenangan, kepuasan, kenikmatan, hingga cinta.

Menikah seringkali diidentikkan dengan cinta, dan cinta adalah simbol kebahagiaan yang paling sempurna. Korelasi tersebut mendasari keterkaitan antara menikah dan bahagia. Anggapan bahwa dengan menikah, maka secara otomatis kebahagiaan datang mengiringinya. Bukan sekadar ‘bahagia’ dalam arti sempit semata, melainkan ‘bahagia’ yang umumnya belum didapatkan selama melajang.

Hal tersebut secara tidak langsung dapat memicu ekspektasi berlebihan. Di luar sadar, keyakinan dan kepercayaan itu terus berkembang. Hingga menimbulkan berbagai eksepektasi besar yang berpotensi menumbuhkan rasa kecewa. Kalau sudah begitu, sasaran empuknya adalah hubungan pernikahan yang dianggap salah. Padahal sesungguhnya, permainan pikiran berupa ekspektasilah yang telah merusak hubungan.

Sampai ekspektasi-ekspektasi itu terus menumpuk dan membesar, lantas menghancurkan perkembangan emosi bahagia. Akibatnya menikah hanya menimbulkan luka, ekspektasi memakan akal sehat terhadap obsesi bahagia yang belum sempurna. Memang sebagian orang mengaku mampu mengatasi ekspektasi tersebut dan mengatasinya, namun bagaimana dengan ego yang  mengiringi ekspektasi itu? Maka perceraian seakan telah menjadi solusi ampuh.

Tidak heran, angka perceraian di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Didominasi oleh pasangan muda yang belum mencapai usia pernikahan lima tahun, perceraian seolah sudah menjadi hal umum. Belum lagi ketertarikan untuk menikah muda yang kian marak bermunculan. Keinginan untuk mewujudkan “Relationship Goals” diusia muda menjadi trendy di masyarakat.

Cara pandang terhadap pernikahan yang sebelumnya amat sakral dan dijunjung tinggi pun lambat laun memudar. Kecencerungan hanyut dalam ekspektasi tanpa pemikiran matang justru berdampak pada ‘hancur’nya hubungan pasca menikah. Tidak bisa dipungkiri memang jika sebagian besar orang kini mulai menganggap bahwa menikah adalah sumber utama kebahagiaan. Tanpa mempertimbangkan kesiapan fisik, mental, dan finansial.

Permasalahan kompleks antara menikah dan bahagia ini tidak berhenti sampai sebatas itu saja. Kegagalan mencapai ekspektasi dalam hubungan pernikahan berimbas pula pada tumbuh kembang anak. Belum lagi hubungan dua keluarga besar yang hakikatnya bukan sebatas antara dua insan manusia. Ada banyak pihak terlibat yang dirugikan, bahkan tidak menutup kemungkinan jika hal tersebut dapat menimbulkan trauma mendalam.

Tingginya angka perceraian di Indonesia tidak bisa membungkam keterkaitan antara menikah dan bahagia. Nyatanya pada tahun 2018 kasus perceraian terbesar disebabkan oleh perselisihan dan pertengkaran terus menerus. Disusul kemudian oleh faktor ekonomi, suami atau istri yang pergi, kekerasan dalam rumah tangga dan mabuk-mabukan. Ketidak-bahagiaan dalam hubungan pernikahan menjadi momok utama yang memicu perceraian.

Angka perceraian akan terus meningkat jika tidak ada perbaikan mendalam mengenai pandangan pernikahan. Upaya pemerintah untuk menerapkan sertifikasi nikah 2020 boleh jadi menjadi langkah awal yang relevan dalam menurunkan jumlah perceraian di Indonesia. Perlunya meningkatkan pemahaman akan pernikahan bukan semata-mata untuk ‘menakuti’, melainkan sebagai bekal dalam mewujudkan kehidupan pasca menikah yang sehat dan cerdas.

Terlalu dangkal rasanya jika menikah hanya dinilai sebatas wujud dari bahagia semata. Pada akhirnya menikah dan bahagia hanyalah dua makna berbeda yang ‘dipaksa’ berkaitan oleh ekspektasi manusia. Bahagia tidak hanya didapatkan setelah menikah, dan menikah tidak hanya berisi emosi bahagia. Menikah dan bahagia bisa saja berkesinambungan, namun tidak melulu saling membutuhkan.

Menggantungkan emosi bahagia pada ekspektasi menikah tidaklah membahagiakan. Penting disadari bahwa menjadi bahagia jauh sebelum menikah akan berimbas baik dalam kehidupan pernikahan kemudian. Siapapun bisa bahagia tanpa perlu lebih dulu menikah, dan siapapun bisa menikah setelah bahagia.

Sumber:

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/02/20/ramai-ruu-ketahanan-keluarga-berapa-angka-perceraian-di-indonesia

Komentar

Kunjungi Juga

Sebuah Review: Ashfall (2019) The Movie

Mengenal Lebih Dekat Profesi Data Analis

Review Drama: Reply 1988 & Mr. Sunshine